Selasa, 22 November 2016

FILSAFAT SIMBOL “DAKSINA SEBAGAI SIMBOL HINDU” KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM



FILSAFAT SIMBOL
“DAKSINA SEBAGAI SIMBOL HINDU”

Disusun Oleh:
Nama     : I Ketut Putu Suardana
Nim        : 101 111 18
Semester: III (Tiga) B Pagi
Jurusan : Pendidikan


KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM
2011
KATA PENGANTAR

            Om Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat rahmat-Nya dan kuasa-Nya makalah: Filsafat Simbol tentang Daksina Sebagai Simbol Hindu ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya. Sudah tentu makalah yang kami buat ini jauh dari sempurna, untuk itu kami selaku penyusun makalah ini mohon kritik dan sarannya secara konstruktif untuk lebih sempurnanya makalah: Filsafat Simbol tentang Daksina Sebagai Simbol Hindu ini.
Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada pihak yang telah memberi sumbangan pemikirannya kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Selain itu terima kasih kami ucapkan kepada narasumber yang telah memberikan informasi tentang Daksina itu sendiri.
Sebagai akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan untuk kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Om Santih Santih Santih Om.


                                                            Mataram, 23 November 2011.
                                                                             
                                                                                            Penyusun




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………….…………………………………..1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………………………………………………..…………………..3
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang…………………………………………………………….4
  2. Rumusan Masalah…………………………………………………………4
  3. Tujuan……………………………………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN
  1. Pengertian Daksina………………………………………………………...6
  2. Sejarah Daksina……………………………………………………………6
  3. Pemakaian Daksina Di Bali……………………………………………….9
  4. Unsur-Unsur Serta Makna Filosofis Daksina……………………………13
  5. Jenis-Jenis Daksina………………………………………………………16
BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan………………………………………………………………19
  2. Saran………………………………………………………………….…..20
REFERENSI……………………………………………………………..………21


BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Dalam kegiatan upacara yajna Daksina sering sekali ada, bahkan setiap hari suci purnama tilem Daksina selalu dihaturkan di pelangkiran atau pelinggih. Bagi para pedagang yang memperoleh penghasilan dari menjual daksina namun belum tentu mengeahui tatwa atau dasar ajaran pembuatan Daksina.
Daksina yang sebagian besar bahannya terbuat dari kelapa terutama buah dan daunnya yang berfungsi sebagai Lingga dan Yoni. Buah kelapa yang dikupas serabutnya disimbolkan dengan Lingga, sedangkan daun yang digunakan untuk serobong disimbolkan dengan Yoni.
Didalam bersembahyang mengunggahkan daksina selain praktis juga ekonomis. Namun juga harus berdasarkan ajaran Agama Hindu yang sebenarnya dan bukan asal-asalan dibuat.
B.            Rumusan Masalah
Dari pemaparan dalam latar belakang diatas maka dalam pembuatan makalah ini akan ditelaah berbagai permasalahan tentang daksina diantaranya:
1.             Apakah daksina itu?
2.             Mengapa daksina dipakai sarana upacara yajna dan seberapa penting yajna dalam persembahyangan Hindu?
3.             Apa unsur-unsur didalam daksina dan makna filosofisnya serta tatwa tentang daksina?

C.            Tujuan
Berawal dari kurang pengetahuan tentang berbagai sarana upacara yajana maka dibuat makalah yang berkaitan dengan daksina yang merupakan salah satu upakara yajna yang sangat penting.
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah:
1.             Agar masyarakat bisa mengetahui unsur-unsur pembuatan yajna yang benar menurut tatwa.
2.             Agar masyarakat mengetahui kapan awal daksina itu dipakai.
3.             Agar bisa memenuhi persyaratan mata kuliah Filsafat Simbol.













BAB II
PEMBAHASAN

A.            Pengertian Daksina
Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada Yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nva. Daksina disebut Juga "Yadnya Patni" yang artinya istri atau sakti daripada yadnya. Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal, kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
Sebenarnya pengertian daksina secara umum adalah suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang kepada pendeta/pemimpin upacara. Penghormatan ini haruslah dihaturkan secara tulus ikhlas. Persembahan ini sangat penting dan bahkan merupakan salah satu syarat mutlak agar Yadnya yang diselenggarakan dapat disebut berkwalitas (Satwika Yadnya).
B.            Sejarah Daksina
Ketika kita menyebut daksina, dalam benak orang Bali yang awam akan terbayang satu bentuk jejahitan yang berbentuk serobong (silinder) terbuat dari daun kelapa yang sudah tua, dan isinya berupa beras, uang, kelapa, telur itik dan lain-lain. Daksina tersebut adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian spiritual. Daksina adalah lambang Hyang.Guru (Dewa Siwa) dan karena itu digunakan sebagai saksi Dewata.
Jadi daksina itu sangat penting dalam Yajna. Seperti dalam Mahabharata diceritakan tentang betapa pentingnya daksina dalam upacara Yadnya.
Dikisahkan setelah perang Bharatayuda usai, Sri Krishna menganjurkan kepada Pandawa untuk menyelenggarakan upacara yadnya yang disebut Aswamedha yadnya. Upacara korban kuda itu berfungsi untuk menyucikan secara ritual dan spiritual negara Hastinapura dan Indraprastha karena dipandang leteh (kotor) akibat perang besar berkecamuk. Di samping itu rakyat Pandawa bisa diliputi rasa angkuh dan sombong akibat menang perang.
Atas anjuran Sri Krishna, di bawah pimpinan Raja Dharmawangsa, Pandawa melaksanakan Aswamedha Yadnya itu. Sri Krishna berpesan agar yadnya yang besar itu tidak perlu dipimpin oleh pendeta agung kerajaan tetapi cukup dipimpin oleh seorang pendeta pertapa keturunan sudra yang tinggal di hutan.
 Pandawa begitu taat kepada segala nasihat Sri Krishna, Dharmawangsa mengutus patihnya ke tengah hutan untuk mencari pendeta pertapa keturunan sudra. Setelah menemui pertapa yang dicari, patih itu menghaturkan sembahnya, "Sudilah kiranya Anda memimpin upacara agama yang benama Aswamedha Yadnya, wahai pendeta yang suci". Mendengar permohonan patih itu, sang pendeta yang sangat sederhana lalu menjawab, "Atas pilihan Prabhu Yudhistira kepada saya seorang pertapa untuk memimpin yadnya itu saya ucapkan terima kasih. Namun kali ini saya tidak bersedia untuk memimpin upacara tersebut. Nanti andaikata kita panjang umur, saya bersedia memimpin upacara Aswamedha Yadnya yang diselenggarakan oleh Prabhu Yudistira yang keseratus kali.
Mendengar jawaban itu, sang utusan merasa kaget luar biasa. Ia langsung mohon pamit dan segera melaporkan segala sesuatunya kepada Raja. Kejadian ini.kemudian diteruskan kepada Sri Krishna. Setelah mendengar laporan itu, Sri Krishna bertanya, siapa yang disuruh untuk menghadap pendeta, Dharmawangsa menjawab "Yang saya tugaskan menghadap pendeta adalah patih kerajaan".
Sri Krishna menjelaskan, upacara yang akan dilangsungkan bukanlah atas nama sang patih, tetapi atas nama sang Raja. Karena itu tidaklah pantas kalau orang lain yang memohon kepada pendeta. Setidak-tidaknya permaisuri Raja yang harus datang kepada pendeta. Kalau permaisuri yang datang, sangatlah tepat karena dalam pelaksanaan upacara agama, peranan wanita lebih menonjol dibandingkan laki-laki. Karena upacara agama bertujuan untuk membangkitkan prema atau kasih sayang dalam hal ini yang paling tepat adalah wanita.
Nasihat Awatara Wisnu itu selalu dituruti oleh Pandawa. Dharmawangsa lalu memohon sang permaisuri untuk mengemban tugas menghadap pendeta di tengah hutan. Tanpa mengenakan busana mewah, Dewi Drupadi dengan beberapa iringan menghadap sang pendeta. Dengan penuh hormat memakai bahasa yang lemah lembut Drupadi menyampaikan maksudnya kepada pendeta. Di luar dugaan, pendeta itu bersedia untuk memimpin upacara yang agung itu. Pendeta itu kemudian dijemput sebagaimana tatakrama yang berlaku.
 Drupadi menyuguhkan makanan dan minuman ala kota kepada pendeta. Karena tidak perah hidup dan bergaul di kota, sang Pendeta menikmati hidangan tersebut menurut kebiasaan di hutan yang jauh dengan etika di kota. Pendeta kemudian segera memimpin upacara.
Ciri-ciri upacara itu sukses menurut Sri Krishna adalah apabila turun hujan bunga dan terdengar suara genta dari langit. Nah, ternyata setelah upacara dilangsungkan tidak ada suara genta maupun hujan bunga dari langit. Terhadap pertanyaan Darmawangsa, Sri Krishna menjelaskan bahwa tampaknya tidak ada "daksina" untuk dipersembahkan kepada pendeta. Kalau upacara agama tidak disertai dengan daksina untuk pendeta, berarti upacara itu menjadi milik pendeta. Dengan demikian yang menyelenggarakan upacara berarti gagal melangsungkan yadnya. Selain itu gagal atau suksesnya yadnya ditentukan pula oleh sikap yang beryadnya. Kalau sikap ini. tidak baik atau tidak tulus menerima pendeta sebagai pemimpin upacara maka gagalah upacara itu. Sikap dan perlakuan kepada pendeta yang penuh hormat dan bhakti merupakan salah satu syarat yang menyebabkan upacara sukses.
Setelah mendengar wejangan itu, Drupadi segera menyiapkan Daksina untuk pendeta. Setelah pendeta mendapat persembahan daksina, tidak ada juga suara genta dan hujan bunga dari langit. Melihat kejadian itu, Sri Krishna memastikan bahwa di antara penyelenggara yadnya ada yang bersikap tidak baik kepada pendeta. Atas wejangan Sri Krishna itu, Drupadi secara jujur mengakui bahwa ia telah mentertawakan walau dalam hati, yaitu pada saat pendeta menikmati hidangan tadi.
Memang dalam agama Hindu, Pendeta mendapat kedudukan yang paling terhormat bahkan dipandang sebagai perwujudan Dewa. Karena itu akan sangat fatal akibatnya kalau ada yang bersikap tidak sopan kepada pendeta.
Beberapa saat kemudian setelah Drupadi berdatang sembah dan mohon maaf kepada pendeta, jatuhlah hujan bunga dari langit dan disertai suara genta yang nyaring membahana. lni pertanda yadnya Aswamedha itu sukses. Demikianlah, betapa pentingnya "daksina" dalam upacara yadnya. (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=369&Itemid=29, 22 November 2011)
C.            Pemakaian Daksina Di Bali
Masyarakat Bali yang dominan penduduknya beragama Hindu sangat panatik dalam kehidupan beragama. Meskipun masyarakatnya yang panatisme dalam kehidupan beragama tetapi, tidak jarang masyarakat Bali menggunakan sarana-sarana atau dikenal dengan upakara-upakara yajna/ persembahyangan yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan atau dianjurkan dalam lontar-lontar agama Hindu. Hal ini jika terus dilakukan maka tatwa dalam agama Hindu di Bali tidak lagi digunakan bahkan akan bisa hilang selamanya sehingga secara terus menerus yajna dalam agama Hindu di Bali tidak sesuai dengan tatwa.
Meskipun banyak masyarakat yang tidak memakai tatwa sebagai dasarnya dalam melaksanakan yajna namun ada pula masyarakat Bali yang panatisme yang masih mempertahankan tatwa sebagai dasar pelaksanaan yajna.
Akhir-akhir ini kita dipaksa untuk mengkerutkan jidat dengan dikatakannya beberapa sulinggih dalam geria yang "rajin" melayani Sisyanya dengan menjual banten. Harga bantenpun bervariasi sesuai dengan besar kecil atau tingkat kerumitannya. Satu hal yang paling membuat trenyuh adalah harga banten telah menggigit umat yang ekonominya lemah. Hal itu rupanya akan tetap berlangsung jika tidak ada ketegasan dari pihak lembaga umat kita. Sulinggih berbisnis ? lni tentu sudah melanggar sasana kepanditaan. Terhadap sulinggih "matre" seperti ini sudah pada tempatnya jika PHDI memberikan teguran.
Tetapi, terlepas dari sasana kepanditaan yang telah dilanggar, kita perlu introspeksi diri mungkin sekali kita ikut andil dalam menciptakan. keadaan seperti itu. Tidakkah karena kita, para pendeta yang mestinya berhenti mencari nafkah, tetapi karena tuntutan kesejahteraan terpaksa kembali berbisnis. Kita lalai untuk menyucikan dan memuliakan beliau-beliau semua.
Sebagai contoh di desa pakraman (secara umum) apabila ada yang menyelenggarakan yadnya, kita sangat jarang melihat kenyataan bahwa ada persembahan kepada pemimpin upacara (pendeta/pemangku) yang sedikit istimewa dalam pengertian cukup layak jika dibandingkan dengan tingkat kerumitan dan kemegahan yadnya tersebut. Misalnya, sebuah yadnya yang diselenggarakan dengan menelan biaya sepuluh juta rupiah, tetapi daksina. untuk para pemimpin yadnya itu tidak ada, atau kalau ada paling besar sepuluh ribu rupiah. Apakah itu cukup propesionall? Tidakkah kita sadar kerja memuput yadnya itu cukup menyita energi dan waktu?
Sebagai perbandingan misalnya, seorang karyawan sebuah perusahaan yang bekerja sepuluh jam per hari, ia sudah dapat dipastikan mendapat upah tiga puluh ribu rupiah. Sedang pandita yang kerja sehari penuh hanya memperoleh daksina sepuluh ribu rupiah. Nah, kita tahu secara vertikal spiritual atau apapun pandita lebih terhormat dibandingkan yang lainnya. Lalu dimana penghormatan kita kepada Beliau yang konon sebagai perwujudan Dewa ?
Dari urain diatas kita bandingkan dengan ajaran agama Hindu. Umat Hindu mengenal adanya catur Yoga atau Catur Marga da nada yang meyebutnya Catur Marga Yoga yang merupakan empat jalan menuju kesempurnaan. Yang diantaranya:
1.             Jnana Marga Yoga yaitu jalan ilmu pengetahuan
2.             Bhakti Marga Yoga yaitu jalan persembahan atau Yajna
3.             Dyana atau Raja Marga Yoga yaitu jalan meditasi
4.             Karma Marga Yoga yaitu dengan jalan bekerja.
Bhakti merupakan jalan termudah bagi kebanyakan orang di Bali. Itulah sebabnya umat hindu di Bali cendrung memilih jalan Bhakti. Terutama sekali bhakti terhadap leluhurnya. Namun ada yang lain yaitu Bhakti kepada Ida Sang Hyaang Widhi yang diwujudkan melalui simbolis upakara yajna. Salah satunya adalah Daksina yang merupakan yang paling mudah dan ekonomis untuk mewujudkan rasa Bhakti itu. Didalam Daksina terdapat kekuatan yaitu kekuatan Bhakti dan kekuatan keyakinan daripada umat-Nya atau bakta-Nya. Daksina biasanya bisa bertahan selama 30 hari atau satu bulan.
Setelah bahan-bahan Daksina itu rusak lalu kemudian diganti seperti yang tersurat dalam Bhagawad Gita bab II sloka 47 sebagai berikut:



Karmany evadhikaras te
Ma phalesu kadacana
Ma karma phala hetur bhur
Ma te sango stv akarmani
Artinya:
Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu yang kau pikirkan , jangan sekali sekali pahala jadi motifmu dalam bekerja dan jangan pula hanya berdiam diri tanpa kerja.
Selain dalam sloka diatas dalam Lontar Dewa Tattwa juga dikatakan
Kramanya sang kuningkin akarya sanista, madya, uttama. Manah lega dadi ayu, aywa ngalem druwenya. Mwang kemagutan kaliliraning wwang atuha, away mengambekang krodha mwang ujar gangsul, ujar menak juga kawedar denira. Mangkana kramaning sang ngarepang karya away simpanging budhi mwang krodha
Artinya:
Tata cara bagi mereka yang bersiap-siap akan melaksanakan upacara kanista, madya atau uttama. Pikiran yang tenang dan ikhlaslah yang menjadikannya baik. Janganlah tidak ikhlas atau terlalu menyayangi harta benda yang diperlukan untuk yajna. Janganlah menentang petunjuk orang tua (orang yang dituakan), janganlah berprilaku marah dan mengeluarkan kata-kata yang sumbang dan kasar. Kata-kata yang baik dan enak didengar itu juga hendaknya diucapkan. Demikianlah tata-caranya orang yang akan melaksanakan yajna. Jangan menyimpang dari budhi baik dan jangan menampilkan kemarahan.
Sloka-sloka diatas sangat relevan diterapkan pada masyarakat Bali ketika membuat atau metanding Daksina. Jadi disini unsur kerja dan bhakti yang menonjol.
Bhakti dan bekerja dengan spontanitas tanpa dimotifasi oleh orang lain melainkan atas kesadaran sendiri itu memiliki nilai yang luhur dan agung.
Jadi demikianlah dengan metanding daksina kemudian dilinggihkan atau dihaturkan kemudian dipuja dan disembahyangi maka umat mengundang atau menghadirkan kekuatan lingga Yoni di Bhur Loka. (Niken, 2006-1)
D.           Unsur-Unsur Serta Makna Filosofis Daksina
Unsur-unsur yang membentuk daksina, diurut dari isi terbawah hingg diatas yaitu:
1.             Alas bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
2.             Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina; terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan ).
3.             Tapak Dara; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos, tampak juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik. Yang juga merupakan lambing perputaran bumi, dari pagi ke siang, dari siang ke malam dan seterusnya.
4.             Beras; yang merupakan makanan pokok melambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva)
5.             Sirih temple / Porosan; terbuat dari daun sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa) dan pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan. Selain itu juga dijadikan sebagai symbol sabda, bayu, dan idep dari penghuni makhluk hidup di Bumi.
6.             Kelapa; adalah buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka. Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pengikat indria.
7.             Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. Dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang bila perlu), namun ada juga daksina caru yang dipersembahkan kepada para buthakala, yang digunakan bisa telur ayam.
8.             Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. Dalam tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu belambangkan tulang.
9.             Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan)
10.         Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana / kebendaan / perempuan, dari segi warna merah (kekuatan). Dalam tetandingan melambangkan dagu.
11.         Gegantusan; merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
12.         Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian / langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun salak / mangga lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
13.         Bija ratus adalah campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya; godem (hitam – wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua).
14.         Benang Tukelan; adalah alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambing usus/perut.
15.         Uang Kepeng; adalah alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
16.         Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha).
17.         Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
18.         Sampiyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria
19.         Canang; adalah symbol penyerahan diri secara total kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam canang terdapat cemper dan raka-raka adalah melambangkan lapis badan yang pertama (badan kasar), duras lambang lapis badan kedua (badan halus) bunga-bunga dan kembang rampe lambang lapis badan ketiga (suksma sarira).
E.            Jenis-Jenis Daksina
Jenis-jenis Daksina antara lain:
1.             Daksina kelipatan 1 yang biasa disebut daksina alit.
Isinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
2.             Daksina kelipatan 2 nama lainnya adalah daksina pakala-kalaan (Manusa Yajna).
Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
3.             Daksina kelipatan 3 atau daksina krepa (Rsi Yajna).
Daksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
4.             Daksina kelipatan 5 sering disebut daksina gede / pamogpog (upacara besar).
Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar. Masukkan :
5 x coblong beras
5 butir kelapa yang di atasnya berisi benang putih tukelan kecil
5 kojong tampelan letakkan berkeliling
5 kojong pesel-peselan
5 kojong gegantusan
5 kojong tebu
5 kojong pisang
1 cepér berisi 5 buah pangi
5 buah kemiri (tingkih)
1 cepér berisi 5 butir telur bébék
Sampiyannya : basé ambungan (kekojong dari janur berisi basé lembaran dan sampiyan sreyok - lihat gambar sebelah)
5.             Daksina linggih merupakan daksina sebagai simbol ‘pelinggihan Ida Bhatara’ tidak memakai tegteg, peras, dan ajuman. Juga telor diganti dengan tingkih. Kemudian ‘serembengnya’ dibungkus kain putih kuning.

















BAB III
PENUTUP

A.            Kesimpulan
Daksina disebut YadnyaPatni yang artinya istri atau sakti daipada Yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
Daksina pada awalnya memang sudah dpakai dan digunakan pada Zaman terjadinya kisah Mahabaratha yang pada saat itu daksina dipakai atas anjuran Sri Krisnha kepada Pandawa pada saat upacara Asmaweda setelah perang Baratayuda usai.
Adapun isi daksina adalah:
1.             Serembeng, simbol arda candra.
2.             Kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada.
3.             Bedogan, simbol swastika.
4.             Kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari.
5.             Kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi.
6.             Telur bebek simbol windu dan satyam.
7.             Tampelan, simbol trimurti.
8.             Irisan pisang, simbol dharma.
9.             Irisan tebu, simbol smara-ratih.
10.         Benang putih, simbol siwa.
Macam-macam Daksina adalah sebagai berikut;
1.             Daksina kelipatan 1 yang biasa disebut daksina alit.
2.             Daksina kelipatan 3 atau daksina krepa (Rsi Yajna).
3.             Daksina kelipatan 2 nama lainnya adalah daksina pakala-kalaan (Manusa Yajna).
4.             Daksina kelipatan 5 sering disebut daksina gede / pamogpog (upacara besar).
5.             Daksina linggih.
B.            Saran
          Selama ini masyarakat Hindu tidak mengetahui tatwa dalam membuat daksina oleh karena itu sangat di perlukan pengetahuan mengenai tatwa daksina itu sendiri agar kesalahan dalam pembuatan dan penggunaan daksina tidak selalu terjadi di Bali. Selain itu jika kita sudah mengetahui tatwa daksina itu sendiri maka kita harus menerapkan ajaran bhakti dan karma marga dengan jalan membuat dan mempersembahkan daksina itu sendiri agar kesalahan itu tidak terjadi lagi.






REFERENSI

1.             Raras, Niken Tambang; 2006, Daksina Menghadirkan Kekuatan Lingga Yoni Di Bhur Loka, Surabaya; Paramita.
2.             http://www.babadbali.com/canangsari/banten/daksina.htm, 22 November 2011.
3.             http://cakepane.blogspot.com/2010/07/daksina-cara-membuat-dan-kajian.html, 22 November 2011
4.             http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=369&Itemid=29 , 22 November 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar