TUGAS MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN II
NGABEN PADA ERA
GLOBALISASI
Oleh :
I KETUT PUTU SUARDANA
NIM. 141 211 10
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU KOMUNIKASI HINDU
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI
GDE PUDJA MATARAM
2015
NGABEN PADA ERA GLOBALISASI
A.
Latar Belakang
Hindu merupakan salah satu agama
tertua di dunia yang bersifat sangat universal. Dalam melakukan praktek
keagamaan, Agama Hindu sangat pleksibel. Salah satu contoh praktek keagamaan
dalam Hindu adalah dengan terlaksananya upacara ngaben secara turun temurun di
Indonesia, di Bali dan Lombok khususnya.
Ngaben
merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali dan Lombok. Upacara ini tergolong dalam
upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara
etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran
an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan
terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Versi lain mengatakan bahwa ngaben
berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara
memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka.
Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada
dua macam, yaitu berupa api konkret dan api abstrak. Api konkrit adalah api
yang terlihat dan dirasakan secar nyata oleh panca indra manusia sedangkan api
abstrak adalah api yang berasal dari Puja
Mantra Pendeta yang memimpin upacara.
Ngaben yang merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah dalam
Hindu di Indonesia adalah salah satu upacara atau ritual yang dilakukan untuk
mengirim jenazah pada kehidupan mendatang.
Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus
(roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur
yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terdiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan
kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya
hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk
menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh
dengan jasad kasarnya. Selain itu dalam kepercayaan Hindu, Dewa Brahma atau
dewa pencipta dikenal sebagai dewa api. Oleh karena itu, upacara ini juga bisa
dianggap sebagai upaya untuk membakar kotoran yang berupa jasad kasar yang
masih melekat pada roh dan mengembalikan roh pada Sang Pencipta.
B.
Rangkaian Upacara Ngaben
Dalam prakteknya, upacara
ngaben dilaksanakan dengan rangkaian sebagai berikut :
1.
Ngulapin adalah upacara
untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang
bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan misalnya di rumah sakit
dan lain sebagainya.
2.
Nyiramang adalah Upacara
memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga
yang bersangkutan. Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol
seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran
di alis dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali
fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya serta apabila
roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap
(tidak cacat).
3.
Ngaskara adalah upacara yang bermakna sebagai penyucian roh mendiang. Penyucian ini
dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan
dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
4.
Mameras berasal
dari kata peras yang artinya berhasil, sukses atau selesai. Upacara ini
dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan
cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma
baik yang mereka lakukan.
5.
Papegatan bermakna untuk memutuskan hubungan duniawi dan
cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan
sang roh menuju Tuhan.
6.
Ngeseng adalah
upacara pembakaran jenazah. Jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan,
disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki
oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta
Pangentas yang bertindak sebagai api
abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta.
7.
Nganyud bermakna
sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam
roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini
biasanya dilaksakan di laut atau sungai.
C.
Ngaben Pada Era Globalisasi
Hindu merupakan agama yang memiliki potensi memelihara
alam dan seni budaya yang dapat
diandalkan di Indonesia. Perkembangan pola
pemikiran manusia khususnya di era modern sekarang ini bagaikan pisau bermata dua yang memiliki
dampak negatif dan positif yang mesti difilter oleh masyarakat Hindu supaya dapat menunjang pemeliharaan
dan perkembangan tradisi
atau praktek keagamaan Hindu kearah yang positif.
Perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi
pertukaran budaya dan ekonomi internasional. Globalisasi membawa dampak yang
sangat besar pada semua sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat dari tingginya pergulatan
antara nilai-nilai lokal dan global yang memasuki segenap sendi-sendi kehidupan
masyarakat Indonesia. Pengaruh globalisasi tidak dapat ditolak karena
perkembangan kebudayaan manusia akan berkembang seiring dengan perkembangan
zaman.
Hindu menjadikan ajaran Catur
Purusa Artha sebagai dasar dalam kehidupan beragama. Catur Purusa Artha artinya
empat tujuan hidup manusia dalam upaya mencapai jagadhita dan moksa. Dharma yang artinya
kebenaran merupakan landasan utama di dalam mencari artha dan pemenuhan kama di dalam mencapai jagadhita
dan moksa.
Seiring dengan perkembangan jaman, nilai-nilai yang terdapat
didalam ajaran agama mulai berubah. Pada jaman era globalisasi masyarakat Hindu
sudah mulai mengutamakan material di atas segalanya.
Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Maryadi dalam Suliartawan
(2014) dinyatakan bahwa kini masyarakat Indonesia telah mengalami transformasi
budaya spiritual ke kebudaya material. Transformasi budaya spiritual ke dalam
budaya material dapat kita amati dalam kehidupan masyarakat Bali di zaman
modern yang sudah mulai mengutamakan Artha
dan pemenuhan hasrat atau Kama
dibandingkan menjalankan Dharma
sebagaimana mestinya.
Sejalan dengan ini, Piliang dalam Suliartawan (2014) juga menyatakan
bahwa didalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan ketimbang
nilai utilitas, logika yang mendasarinya bukan logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire). Pemenuhan kama di dalam Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Suliartawan, 2014)
juga dinyatakan bahwa di dalam Anti-Oedipus (hasrat atau hawa nafsu) tidak akan
pernah terpenuhi, oleh karena itu ia selalu diproduksi dalam bentuk yang lebih
tinggi oleh apa yang disebut mesin hasrat (desiring
machine).
Pada era globalisasi ini banyak masyarakat yang merubah pola
hidup dari masyarakat agraris ke pariwisata demi mencari Artha yang lebih
banyak untuk memenuhi kepuasan hasrat atau keinginan. Fenomena tersebut
mengakibatkan adanya transformasi budaya dari masyarakat sosial religious ke
masyarakat individualisme.
Seiring dengan perubahan pola hidup masyarakat tersebut,
tata cara pelaksanaan upacara agama juga mulai mengalami transformasi salah satu contohnya adalah upacara ngaben, zaman dahulu melaksanakan ritual upacara ngaben semakin
lama waktunya semakin baik karena hubungan kekerabatan antara individu yang
satu dengan yang lainnya semakin berarti. Pada jaman itu membuat sarana upakara
dikerjakan oleh masyarakat secara bersama-sama dengan system gotong royong (ngoopin) dan proses pelaksanaan upacara ngaben juga memerlukan
waktu yang sangat lama, biasanya disertai dengan acara makan-makan sehingga
memerlukan biaya yang cukup banyak, tenaga yang cukup besar dan waktu yang
diperlukan juga relatif lama. Namun sekarang dalam masyarakat Hindu
di Indonesia pada umumnya telah terjadi perubahan pola pelaksanaan upacara ngaben dengan
membeli atau memesan sarana upacara pada Griya
karena masyarakat menginginkan yang serba praktis atau simple.
Masyarakat cukup menyerahkan uang dan banten lengkap dengan
yang muput telah disiapkan oleh Griya
tersebut. Meskipun
memakan waktu yang relatif singkat, namun pelaksanaan upacara ngaben pada zaman
sekarang lebih bersifat hiperealitas yadnya
yaitu pelaksanaan yadnya yang melampui
hakikat atau esensi dari upacara tersebut sehingga lebih terkesan bersifat Rajasika
(jor-joran)
Pelaksanaan upacara agama yang bersifat
rajasika ( jor-joran), yang sangat luar
biasa beratnya seperti sekarang ini, yang menguras sebagian besar uang dan
tenaga. Apabila budaya seperti ini terus
dipertahankan maka masyarakat Hindu akan tertinggal dan selalu menjadi budak bagi dirinya sendiri. Namun, apabila masyarakat Hindu mau mengadakan transformasi secara berkesinambungan
untuk menggali pola pelaksanaa upacara Agama yang ideal khususnya upacara
ngaben maka nasib Agama Hindu tidak akan sengsara.
Upacara ngaben pada era globalisasi hendaknya berbasis tattwaisme dan esensialisme sehingga didalam
prosesi upacara ngaben tersebut memerlukan waktu yang cukup singkat, tenaga dan
biaya yang relatif sedikit dengan tidak mengurangi hakikat dari upacara ngaben
tersebut.
D.
Penutup
Upacara ngaben kini lebih
didominasi oleh nafsu untuk menunjukkan kemewahan dan kepraktis pelaksanaannya
tanpa mementingkan tatwa. Oleh karena itulah hendaknya di era globalisasi ini
hendaknya upacara keagamaan Hindu khususnya ngaben harus memperhtikan nilai
yang terkandung dalam tatwa atau tatwaisme dan mementingkan esensi di balik
upacara tersebut.
E.
Daftar Rujukan
Sudiartawan, I Gede. 2014. Artikel (Transformasi
Upacara Ngaben Berbasis Tattwaisme Dan Esensialisme Studi Pendidikan dalam Pelaksanaan Ngaben
Massal Di Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng).
Surayin, Ida Ayu Putu. 2010. Ngaben
Khusus Pranawa. Surabaya : Paramita.
Wikarman, I Nyoman Singin. 2002. Ngaben (Upacara dari Tingkatan Sederhana Sampai Utama). Surabaya :
Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar