FILSAFAT SIMBOL
“DAKSINA SEBAGAI SIMBOL
HINDU”
Disusun Oleh:
Nama : I
Ketut Putu Suardana
Nim : 101
111 18
Semester: III (Tiga) B Pagi
Jurusan : Pendidikan
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM
2011
KATA PENGANTAR
Om
Swastyastu,
Puji syukur penulis
panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat
rahmat-Nya dan kuasa-Nya makalah: Filsafat
Simbol tentang Daksina Sebagai Simbol
Hindu ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya. Sudah tentu makalah yang
kami buat ini jauh dari sempurna, untuk itu kami selaku penyusun makalah ini
mohon kritik dan sarannya secara konstruktif untuk lebih sempurnanya makalah: Filsafat Simbol tentang Daksina Sebagai Simbol Hindu ini.
Pada kesempatan
ini tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada pihak yang telah memberi
sumbangan pemikirannya kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Selain itu terima kasih kami ucapkan kepada narasumber yang telah memberikan
informasi tentang Daksina itu sendiri.
Sebagai akhir
kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan untuk kritik dan
saran pembaca sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Om Santih Santih
Santih Om.
Mataram, 23 November 2011.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………….…………………………………..1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………………………………………………..…………………..3
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang…………………………………………………………….4
- Rumusan Masalah…………………………………………………………4
- Tujuan……………………………………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN
- Pengertian Daksina………………………………………………………...6
- Sejarah Daksina……………………………………………………………6
- Pemakaian Daksina Di Bali……………………………………………….9
- Unsur-Unsur Serta Makna Filosofis Daksina……………………………13
- Jenis-Jenis Daksina………………………………………………………16
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan………………………………………………………………19
- Saran………………………………………………………………….…..20
REFERENSI……………………………………………………………..………21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kegiatan upacara yajna
Daksina sering sekali ada, bahkan setiap hari suci purnama tilem Daksina selalu
dihaturkan di pelangkiran atau pelinggih. Bagi para pedagang yang memperoleh
penghasilan dari menjual daksina namun belum tentu mengeahui tatwa atau dasar
ajaran pembuatan Daksina.
Daksina yang sebagian besar
bahannya terbuat dari kelapa terutama buah dan daunnya yang berfungsi sebagai Lingga
dan Yoni. Buah kelapa yang dikupas serabutnya disimbolkan dengan Lingga,
sedangkan daun yang digunakan untuk serobong disimbolkan dengan Yoni.
Didalam bersembahyang
mengunggahkan daksina selain praktis juga ekonomis. Namun juga harus
berdasarkan ajaran Agama Hindu yang sebenarnya dan bukan asal-asalan dibuat.
B.
Rumusan Masalah
Dari pemaparan dalam latar
belakang diatas maka dalam pembuatan makalah ini akan ditelaah berbagai
permasalahan tentang daksina diantaranya:
1.
Apakah daksina itu?
2.
Mengapa daksina dipakai sarana upacara yajna dan seberapa
penting yajna dalam persembahyangan Hindu?
3.
Apa unsur-unsur didalam daksina dan makna filosofisnya serta
tatwa tentang daksina?
C.
Tujuan
Berawal dari kurang
pengetahuan tentang berbagai sarana upacara yajana maka dibuat makalah yang
berkaitan dengan daksina yang merupakan salah satu upakara yajna yang sangat
penting.
Adapun tujuan dibuatnya
makalah ini adalah:
1.
Agar masyarakat bisa mengetahui unsur-unsur pembuatan yajna
yang benar menurut tatwa.
2.
Agar masyarakat mengetahui kapan awal daksina itu dipakai.
3.
Agar bisa memenuhi persyaratan mata kuliah Filsafat Simbol.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Daksina
Daksina
adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga
merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada Yadnya. Hal ini
dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak
sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang
muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan
tanda "terima kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina
itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan
sembah sujud kita atas semua karunia-Nva. Daksina disebut Juga "Yadnya
Patni" yang artinya istri atau sakti daripada yadnya. Dalam lontar Yadnya
Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal, kedua
nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
Sebenarnya
pengertian daksina secara umum adalah suatu penghormatan dalam bentuk upacara
dan harta benda atau uang kepada pendeta/pemimpin upacara. Penghormatan ini
haruslah dihaturkan secara tulus ikhlas. Persembahan ini sangat penting dan
bahkan merupakan salah satu syarat mutlak agar Yadnya yang diselenggarakan dapat
disebut berkwalitas (Satwika Yadnya).
B.
Sejarah
Daksina
Ketika kita menyebut
daksina, dalam benak orang Bali yang awam akan terbayang satu bentuk jejahitan
yang berbentuk serobong (silinder) terbuat dari daun kelapa yang sudah tua, dan
isinya berupa beras, uang, kelapa, telur itik dan lain-lain. Daksina tersebut
adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian spiritual. Daksina adalah
lambang Hyang.Guru (Dewa Siwa) dan karena itu digunakan sebagai saksi Dewata.
Jadi daksina itu sangat
penting dalam Yajna. Seperti dalam Mahabharata diceritakan tentang betapa
pentingnya daksina dalam upacara Yadnya.
Dikisahkan setelah perang
Bharatayuda usai, Sri Krishna menganjurkan kepada Pandawa untuk
menyelenggarakan upacara yadnya yang disebut Aswamedha yadnya. Upacara korban
kuda itu berfungsi untuk menyucikan secara ritual dan spiritual negara
Hastinapura dan Indraprastha karena dipandang leteh (kotor) akibat perang besar
berkecamuk. Di samping itu rakyat Pandawa bisa diliputi rasa angkuh dan sombong
akibat menang perang.
Atas anjuran Sri Krishna, di
bawah pimpinan Raja Dharmawangsa, Pandawa melaksanakan Aswamedha Yadnya itu.
Sri Krishna berpesan agar yadnya yang besar itu tidak perlu dipimpin oleh
pendeta agung kerajaan tetapi cukup dipimpin oleh seorang pendeta pertapa
keturunan sudra yang tinggal di hutan.
Pandawa begitu taat kepada segala nasihat Sri
Krishna, Dharmawangsa mengutus patihnya ke tengah hutan untuk mencari pendeta
pertapa keturunan sudra. Setelah menemui pertapa yang dicari, patih itu
menghaturkan sembahnya, "Sudilah kiranya Anda memimpin upacara agama yang
benama Aswamedha Yadnya, wahai pendeta yang suci". Mendengar permohonan
patih itu, sang pendeta yang sangat sederhana lalu menjawab, "Atas pilihan
Prabhu Yudhistira kepada saya seorang pertapa untuk memimpin yadnya itu saya
ucapkan terima kasih. Namun kali ini saya tidak bersedia untuk memimpin upacara
tersebut. Nanti andaikata kita panjang umur, saya bersedia memimpin upacara
Aswamedha Yadnya yang diselenggarakan oleh Prabhu Yudistira yang keseratus
kali.
Mendengar jawaban itu, sang
utusan merasa kaget luar biasa. Ia langsung mohon pamit dan segera melaporkan
segala sesuatunya kepada Raja. Kejadian ini.kemudian diteruskan kepada Sri
Krishna. Setelah mendengar laporan itu, Sri Krishna bertanya, siapa yang
disuruh untuk menghadap pendeta, Dharmawangsa menjawab "Yang saya tugaskan
menghadap pendeta adalah patih kerajaan".
Sri Krishna menjelaskan,
upacara yang akan dilangsungkan bukanlah atas nama sang patih, tetapi atas nama
sang Raja. Karena itu tidaklah pantas kalau orang lain yang memohon kepada
pendeta. Setidak-tidaknya permaisuri Raja yang harus datang kepada pendeta.
Kalau permaisuri yang datang, sangatlah tepat karena dalam pelaksanaan upacara
agama, peranan wanita lebih menonjol dibandingkan laki-laki. Karena upacara
agama bertujuan untuk membangkitkan prema atau kasih sayang dalam hal ini yang
paling tepat adalah wanita.
Nasihat Awatara Wisnu itu
selalu dituruti oleh Pandawa. Dharmawangsa lalu memohon sang permaisuri untuk
mengemban tugas menghadap pendeta di tengah hutan. Tanpa mengenakan busana
mewah, Dewi Drupadi dengan beberapa iringan menghadap sang pendeta. Dengan
penuh hormat memakai bahasa yang lemah lembut Drupadi menyampaikan maksudnya
kepada pendeta. Di luar dugaan, pendeta itu bersedia untuk memimpin upacara
yang agung itu. Pendeta itu kemudian dijemput sebagaimana tatakrama yang
berlaku.
Drupadi menyuguhkan makanan dan minuman ala
kota kepada pendeta. Karena tidak perah hidup dan bergaul di kota, sang Pendeta
menikmati hidangan tersebut menurut kebiasaan di hutan yang jauh dengan etika
di kota. Pendeta kemudian segera memimpin upacara.
Ciri-ciri upacara itu sukses
menurut Sri Krishna adalah apabila turun hujan bunga dan terdengar suara genta
dari langit. Nah, ternyata setelah upacara dilangsungkan tidak ada suara genta
maupun hujan bunga dari langit. Terhadap pertanyaan Darmawangsa, Sri Krishna
menjelaskan bahwa tampaknya tidak ada "daksina" untuk dipersembahkan
kepada pendeta. Kalau upacara agama tidak disertai dengan daksina untuk pendeta,
berarti upacara itu menjadi milik pendeta. Dengan demikian yang
menyelenggarakan upacara berarti gagal melangsungkan yadnya. Selain itu gagal
atau suksesnya yadnya ditentukan pula oleh sikap yang beryadnya. Kalau sikap
ini. tidak baik atau tidak tulus menerima pendeta sebagai pemimpin upacara maka
gagalah upacara itu. Sikap dan perlakuan kepada pendeta yang penuh hormat dan
bhakti merupakan salah satu syarat yang menyebabkan upacara sukses.
Setelah mendengar wejangan
itu, Drupadi segera menyiapkan Daksina untuk pendeta. Setelah pendeta mendapat
persembahan daksina, tidak ada juga suara genta dan hujan bunga dari langit.
Melihat kejadian itu, Sri Krishna memastikan bahwa di antara penyelenggara
yadnya ada yang bersikap tidak baik kepada pendeta. Atas wejangan Sri Krishna
itu, Drupadi secara jujur mengakui bahwa ia telah mentertawakan walau dalam
hati, yaitu pada saat pendeta menikmati hidangan tadi.
Memang dalam agama Hindu,
Pendeta mendapat kedudukan yang paling terhormat bahkan dipandang sebagai perwujudan
Dewa. Karena itu akan sangat fatal akibatnya kalau ada yang bersikap tidak
sopan kepada pendeta.
Beberapa saat
kemudian setelah Drupadi berdatang sembah dan mohon maaf kepada pendeta,
jatuhlah hujan bunga dari langit dan disertai suara genta yang nyaring
membahana. lni pertanda yadnya Aswamedha itu sukses. Demikianlah, betapa
pentingnya "daksina" dalam upacara yadnya. (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=369&Itemid=29,
22 November 2011)
C.
Pemakaian Daksina Di Bali
Masyarakat Bali yang dominan
penduduknya beragama Hindu sangat panatik dalam kehidupan beragama. Meskipun
masyarakatnya yang panatisme dalam kehidupan beragama tetapi, tidak jarang
masyarakat Bali menggunakan sarana-sarana atau dikenal dengan upakara-upakara
yajna/ persembahyangan yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan atau
dianjurkan dalam lontar-lontar agama Hindu. Hal ini jika terus dilakukan maka
tatwa dalam agama Hindu di Bali tidak lagi digunakan bahkan akan bisa hilang
selamanya sehingga secara terus menerus yajna dalam agama Hindu di Bali tidak
sesuai dengan tatwa.
Meskipun banyak masyarakat
yang tidak memakai tatwa sebagai dasarnya dalam melaksanakan yajna namun ada
pula masyarakat Bali yang panatisme yang masih mempertahankan tatwa sebagai
dasar pelaksanaan yajna.
Akhir-akhir ini kita dipaksa
untuk mengkerutkan jidat dengan dikatakannya beberapa sulinggih dalam geria
yang "rajin" melayani Sisyanya dengan menjual banten. Harga bantenpun
bervariasi sesuai dengan besar kecil atau tingkat kerumitannya. Satu hal yang
paling membuat trenyuh adalah harga banten telah menggigit umat yang ekonominya
lemah. Hal itu rupanya akan tetap berlangsung jika tidak ada ketegasan dari
pihak lembaga umat kita. Sulinggih berbisnis ? lni tentu sudah melanggar sasana
kepanditaan. Terhadap sulinggih "matre" seperti ini sudah pada
tempatnya jika PHDI memberikan teguran.
Tetapi, terlepas dari sasana
kepanditaan yang telah dilanggar, kita perlu introspeksi diri mungkin sekali
kita ikut andil dalam menciptakan. keadaan seperti itu. Tidakkah karena kita,
para pendeta yang mestinya berhenti mencari nafkah, tetapi karena tuntutan
kesejahteraan terpaksa kembali berbisnis. Kita lalai untuk menyucikan dan
memuliakan beliau-beliau semua.
Sebagai contoh di desa
pakraman (secara umum) apabila ada yang menyelenggarakan yadnya, kita sangat
jarang melihat kenyataan bahwa ada persembahan kepada pemimpin upacara
(pendeta/pemangku) yang sedikit istimewa dalam pengertian cukup layak jika
dibandingkan dengan tingkat kerumitan dan kemegahan yadnya tersebut. Misalnya,
sebuah yadnya yang diselenggarakan dengan menelan biaya sepuluh juta rupiah,
tetapi daksina. untuk para pemimpin yadnya itu tidak ada, atau kalau ada paling
besar sepuluh ribu rupiah. Apakah itu cukup propesionall? Tidakkah kita sadar
kerja memuput yadnya itu cukup menyita energi dan waktu?
Sebagai perbandingan
misalnya, seorang karyawan sebuah perusahaan yang bekerja sepuluh jam per hari,
ia sudah dapat dipastikan mendapat upah tiga puluh ribu rupiah. Sedang pandita
yang kerja sehari penuh hanya memperoleh daksina sepuluh ribu rupiah. Nah, kita
tahu secara vertikal spiritual atau apapun pandita lebih terhormat dibandingkan
yang lainnya. Lalu dimana penghormatan kita kepada Beliau yang konon sebagai
perwujudan Dewa ?
(http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=369&Itemid=29
, 22 November 2011)
Dari urain diatas kita
bandingkan dengan ajaran agama Hindu. Umat Hindu mengenal adanya catur Yoga
atau Catur Marga da nada yang meyebutnya Catur
Marga Yoga yang merupakan empat jalan menuju kesempurnaan. Yang
diantaranya:
1.
Jnana Marga Yoga yaitu jalan ilmu pengetahuan
2.
Bhakti Marga Yoga yaitu jalan persembahan atau Yajna
3.
Dyana atau Raja Marga Yoga yaitu jalan meditasi
4.
Karma Marga Yoga yaitu dengan jalan bekerja.
Bhakti merupakan jalan
termudah bagi kebanyakan orang di Bali. Itulah sebabnya umat hindu di Bali
cendrung memilih jalan Bhakti. Terutama sekali bhakti terhadap leluhurnya.
Namun ada yang lain yaitu Bhakti kepada Ida Sang Hyaang Widhi yang diwujudkan
melalui simbolis upakara yajna. Salah satunya adalah Daksina yang merupakan
yang paling mudah dan ekonomis untuk mewujudkan rasa Bhakti itu. Didalam
Daksina terdapat kekuatan yaitu kekuatan Bhakti dan kekuatan keyakinan daripada
umat-Nya atau bakta-Nya. Daksina biasanya bisa bertahan selama 30 hari atau
satu bulan.
Setelah bahan-bahan Daksina
itu rusak lalu kemudian diganti seperti yang tersurat dalam Bhagawad Gita bab II sloka 47 sebagai
berikut:
Karmany evadhikaras te
Ma phalesu kadacana
Ma karma phala hetur bhur
Ma te sango stv akarmani
Artinya:
Berbuatlah hanya demi
kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu yang kau pikirkan , jangan sekali sekali
pahala jadi motifmu dalam bekerja dan jangan pula hanya berdiam diri tanpa
kerja.
Selain dalam sloka diatas
dalam Lontar Dewa Tattwa juga dikatakan
Kramanya sang kuningkin akarya sanista, madya, uttama. Manah lega dadi
ayu, aywa ngalem druwenya. Mwang kemagutan kaliliraning wwang atuha, away
mengambekang krodha mwang ujar gangsul, ujar menak juga kawedar denira.
Mangkana kramaning sang ngarepang karya away simpanging budhi mwang krodha
Artinya:
Tata
cara bagi mereka yang bersiap-siap akan melaksanakan upacara kanista, madya
atau uttama. Pikiran yang tenang dan ikhlaslah yang menjadikannya baik.
Janganlah tidak ikhlas atau terlalu menyayangi harta benda yang diperlukan
untuk yajna. Janganlah menentang petunjuk orang tua (orang yang dituakan),
janganlah berprilaku marah dan mengeluarkan kata-kata yang sumbang dan kasar.
Kata-kata yang baik dan enak didengar itu juga hendaknya diucapkan. Demikianlah
tata-caranya orang yang akan melaksanakan yajna. Jangan menyimpang dari budhi
baik dan jangan menampilkan kemarahan.
Sloka-sloka diatas sangat
relevan diterapkan pada masyarakat Bali ketika membuat atau metanding Daksina.
Jadi disini unsur kerja dan bhakti yang menonjol.
Bhakti dan bekerja dengan
spontanitas tanpa dimotifasi oleh orang lain melainkan atas kesadaran sendiri
itu memiliki nilai yang luhur dan agung.
Jadi demikianlah dengan
metanding daksina kemudian dilinggihkan atau dihaturkan kemudian dipuja dan
disembahyangi maka umat mengundang atau menghadirkan kekuatan lingga Yoni di
Bhur Loka. (Niken, 2006-1)
D.
Unsur-Unsur Serta Makna Filosofis Daksina
Unsur-unsur yang membentuk daksina, diurut dari isi terbawah hingg diatas
yaitu:
1.
Alas bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan
yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas
Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
2.
Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina; terbuat dari
janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul.
Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng
daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan ).
3.
Tapak Dara; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit
sehinga membentuk tanda tambah. Tampak adalah lambang keseimbangan baik
makrokosmos maupun mikrokosmos, tampak juga melambangkan swastika, yang artinya
semoga dalam keadaan baik. Yang juga merupakan lambing perputaran bumi, dari
pagi ke siang, dari siang ke malam dan seterusnya.
4.
Beras; yang merupakan makanan pokok melambang dari hasil bumi
yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma,
Visnu, Siva)
5.
Sirih temple / Porosan; terbuat dari daun sirih (hijau –
wisnu), kapur (putih – siwa) dan pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa
sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan. Selain itu juga
dijadikan sebagai symbol sabda, bayu, dan idep dari penghuni makhluk hidup di
Bumi.
6.
Kelapa; adalah buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air
keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan
(sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke
dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya
lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala,
lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang
Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa
yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran
sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut
basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering
lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka. Kelapa dikupas
dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana
Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat
dan serabut kelapa adalah lambang pengikat indria.
7.
Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang
awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi
ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari
lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor
adalah lambang Sthula sarira. Dipakai telur itik karena itik dianggap suci,
bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat,
air dan bahkan terbang bila perlu), namun ada juga daksina caru yang
dipersembahkan kepada para buthakala, yang digunakan bisa telur ayam.
8.
Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni
bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup
dengan Tri kaya Parisudhanya. Dalam tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu
belambangkan tulang.
9.
Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari
segi warna putih (ketulusan)
10.
Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana / kebendaan / perempuan,
dari segi warna merah (kekuatan). Dalam tetandingan melambangkan dagu.
11.
Gegantusan; merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan,
yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang
dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang
kemakmuran.
12.
Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat
menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun
manggis lambang Brahma, daun durian / langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun
salak / mangga lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan
juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
13.
Bija ratus adalah campuran dari 5 jenis biji-bijian,
diantaranya; godem (hitam – wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi (merah –
brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa).
kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua).
14.
Benang Tukelan; adalah alat pengikat simbol dari naga
Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara
Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari
penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina.
Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami
penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan
kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai
lambing usus/perut.
15.
Uang Kepeng; adalah alat penebus segala kekurangan sebagai
sarining manah. uang juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan
untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
16.
Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan
(Dana Paramitha).
17.
Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi
tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
18.
Sampiyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga
menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan
pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria
19.
Canang; adalah symbol penyerahan diri secara total kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam canang terdapat cemper dan raka-raka adalah
melambangkan lapis badan yang pertama (badan kasar), duras lambang lapis badan
kedua (badan halus) bunga-bunga dan kembang rampe lambang lapis badan ketiga
(suksma sarira).
(http://cakepane.blogspot.com/2010/07/daksina-cara-membuat-dan-kajian.html,
22 November 2011 dan Niken,2006-42).
E.
Jenis-Jenis Daksina
Jenis-jenis
Daksina antara lain:
1.
Daksina kelipatan 1
yang biasa disebut daksina alit.
Isinya
adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik
sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten
tunggal.
2.
Daksina kelipatan 2
nama lainnya adalah daksina pakala-kalaan (Manusa Yajna).
Isi daksina
dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada
waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
3.
Daksina kelipatan 3
atau daksina krepa (Rsi Yajna).
Daksina yang
isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan
oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya
guna penebusan oton atau mebaya oton.
4.
Daksina kelipatan 5
sering disebut daksina gede / pamogpog (upacara besar).
Isinya
dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang
lain yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada
dasarnya diberi tetampak taledan bundar. Masukkan :
• 5 x coblong beras
• 5 butir kelapa yang di atasnya berisi benang
putih tukelan kecil
• 5 kojong tampelan letakkan berkeliling
• 5 kojong pesel-peselan
• 5 kojong gegantusan
• 5 kojong tebu
• 5 kojong pisang
• 1 cepér berisi 5 buah pangi
• 5 buah kemiri (tingkih)
• 1 cepér berisi 5 butir telur bébék
Sampiyannya
: basé ambungan (kekojong dari janur berisi basé lembaran dan sampiyan sreyok -
lihat gambar sebelah)
5.
Daksina linggih
merupakan daksina sebagai simbol ‘pelinggihan Ida Bhatara’ tidak memakai
tegteg, peras, dan ajuman. Juga telor diganti dengan tingkih. Kemudian
‘serembengnya’ dibungkus kain putih kuning.
(http://www.babadbali.com/canangsari/banten/daksina.htm,
22 November 2011)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Daksina disebut YadnyaPatni
yang artinya istri atau sakti daipada Yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai
mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang
agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya
Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua
nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
Daksina pada awalnya memang
sudah dpakai dan digunakan pada Zaman terjadinya kisah Mahabaratha yang pada
saat itu daksina dipakai atas anjuran Sri Krisnha kepada Pandawa pada saat
upacara Asmaweda setelah perang Baratayuda usai.
Adapun isi daksina adalah:
1.
Serembeng, simbol arda candra.
2.
Kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada.
3.
Bedogan, simbol swastika.
4.
Kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari.
5.
Kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi.
6.
Telur bebek simbol windu dan satyam.
7.
Tampelan, simbol trimurti.
8.
Irisan pisang, simbol dharma.
9.
Irisan tebu, simbol smara-ratih.
10.
Benang putih, simbol siwa.
Macam-macam
Daksina adalah sebagai berikut;
1.
Daksina kelipatan 1
yang biasa disebut daksina alit.
2.
Daksina kelipatan 3
atau daksina krepa (Rsi Yajna).
3.
Daksina kelipatan 2
nama lainnya adalah daksina pakala-kalaan (Manusa Yajna).
4.
Daksina kelipatan 5
sering disebut daksina gede / pamogpog (upacara besar).
5.
Daksina linggih.
B.
Saran
Selama ini masyarakat Hindu tidak
mengetahui tatwa dalam membuat daksina oleh karena itu sangat di perlukan
pengetahuan mengenai tatwa daksina itu sendiri agar kesalahan dalam pembuatan
dan penggunaan daksina tidak selalu terjadi di Bali. Selain itu jika kita sudah
mengetahui tatwa daksina itu sendiri maka kita harus menerapkan ajaran bhakti
dan karma marga dengan jalan membuat dan mempersembahkan daksina itu sendiri
agar kesalahan itu tidak terjadi lagi.
REFERENSI
1.
Raras, Niken
Tambang; 2006, Daksina Menghadirkan Kekuatan Lingga Yoni Di Bhur Loka, Surabaya;
Paramita.
2.
http://www.babadbali.com/canangsari/banten/daksina.htm,
22 November 2011.
3.
http://cakepane.blogspot.com/2010/07/daksina-cara-membuat-dan-kajian.html,
22 November 2011
4.
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=369&Itemid=29
, 22 November 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar