KOMUNIKASI HINDU
PADA UPACARA PERKAWINAN SELARIAN DI LOMBOK
Oleh: I Ketut Putu Suardana, M.I.Kom.
Dalam ajaran Agama Hindu, perkawinan merupakan suatu ikatan
antara dua orang peria dan wanita yang bertujuan untuk membentuk suatu rumah
tanggga yaitu kedalam proses tahapan grahasta.
Ini merupakan jalan satu-satunya untuk melanjutkan keturunan atau generasi dan
mewujudkan suatu keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Selain itu perkawinan juga memiliki arti dan kedudukan yang khusus dalam
dunia kehidupan manusia.
Dalam Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada Bab I
Pasal 1 mengatakan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Adikusuma, 2003).
Berbicara tentang perkawinan, di Indonesia terdapat berbagai
ragam cara prosesi perkawinan salah satunya di Pulau Lombok. Di Lombok terdapat
suatu proses praktek keagamaan yang berbasis kearifan lokal yang berkaitan
dengan perkawinan, salah satunya yaitu perkawinan selarian.
Kawin selarian
terjadi mana kala kedua insan berlainan jenis ingin membina rumah tangga
terhambat karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk
melaksanakan suatu proses perkawinan. Hal tersebut terjadi mana kala dalam
proses perkawinan tersebut ada salah satu pihak keluarga dari kedua mempelai
khususnya mempelai wanita yang tidak merestui atau menyetujui adanya suatu
perkawinan dengan pihak laki-laki yang mencintainya. Maka dari itulah, proses
perkawinan tersebut menemukan gejala kebuntuan sehingga proses perkawinan tidak
terjadi.
Hasilnya, si wanita memilih jalan untuk pergi dari rumah dan
bertemu dengan peria idamannnya yang sebelumnya sudah direncanakan. Untuk kawin
lari tentunya atas dasar saling mencintai dan sepakat untuk lari bersama-sama
dan bersembunyi dipihak ketiga atau kerabat dekat pihak laki-laki untuk
melaksanakan perkawinan.
Suatu perkawinan selarian
tentunya ada benih-benih komunikasi Hindu yang digunakan dalam strategi agar
suatu proses perkawinan tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancer maka
dari itulah diperlukannya suatu komunikasi yang efektif. Sehingga apa yang
diharapkan dapat berjalan sesuai dengan rencana.
Oleh karena itulah dalam tulisan ini akan mengkaji
benih-benih komunikasi Hindu berbasis kearifan lokal khususnya dalam praktek
keagamaan yang berkaitan dengan perkawinan selarian
di Lombok.
1.2 Komunikasi Hindu
Berdasarkan etimologinya,
kata komunikasi berasal dari dari bahasa Latin yaitu kata com berarti bersama-sama dan
unio berarti persatuan. Dari etimologi tersebut Prof. Dr. Alo
Liliweri, M.S. (2011:31) menjelaskan bahwa komunikasi adalah proses atau
tindakan untuk mengalihkan pesan dari suatu sumber kepada penerima melalui
saluran dalam situasi adanya gangguan dan interfrensi.
Sedangkan Fisher dalam
Wiryanto (2000:5) mengatakan komunikasi sebagai alat utama yang digunakan dalam
rangka melakukan interaksi yang berkesianambungan untuk berbagai tujuan menurut
kepentingannya. Begitu juga Wilbur Schramm (1963) dalam Wiryanto menjelaskan
merupakan suatu tindakan melaksanakan kontak antara pengirim dan penerima
dengan bantuan pesan agar penerima memiliki beberapa pengalaman bersama yang
member arti pada pesan dan symbol yang dikirim oleh pengirim dan diterima serta
ditafsirkan oleh penerima.
Secara garis besar, disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari
seseorang kepada orang lain. Komunikasi akan berhasil apabaila antara komunikan
dan komunikator saling memahami informasi yang diberikan dan mengandung
tafsiran yang sama yang didalamnya terkandung unsur-unsur komunikasi
diantaranya pengirim (komunikator),
penerima (komunikan), pesan (message), media/saluran (chanel), gangguan (noise) dan efek (feedback).
Berbicara tentang
komunikasi secara umum maka akan sangat berhubungan erat jika membicarakan
komunikasi hindu. Komunikasi Hindu tidak bisa dilepaskan
dari tradisi India Kuno. Model
komunikasi Hindu yang dibangun oleh Bhattacharya disebut dengan Sadharananikarana.
Model komunikasi ini dalam perspektif modern dikembangkan oleh Nirmala Mani Adhikary dari
Nepal. Model komunikasi Hindu Sadananikaran
memiliki karakteristik yang spesifik, karena selain sifatnya dapat melakukan
penyampaian pesan secara horizontal dengan sesama manusia juga bersifat
vertikal yang berkaitan dengan komunikasi dengan kekuatan supranatural.
Komunikasi
model Barat yang banyak mempengaruhi pola komunikasi di nusantara selama ini
sifatnya linier, sedangkan komunikasi model sadananikaran tidak
mengindikasikan adanya linieritas. Komunikasi yang dibangun oleh model sadananikaran
berupaya membangun oneness, yakni penyatuan dari mereka yang
melakukan komunikasi.
Komunikasi
model sadananikaran cenderung memposisikan aspek rasa dalam proses
penyampaian pesan. Komunikasi yang berhasil dalam model sadananikaran ketika
komunikator dan komunikan memiliki kesamaan rasa dalam proses komunikasi. Aspek
rasa memiliki peran yang sangat penting dalam membangun keberhasilan komunikasi
(Ardhi, 2014).
Ardhi menjelaskan dalam bahan ajar mata kuliah Kompilasi Pemikiran
Komunikiasi Hindu (2014) bahwa membangun komunikasi
yang berbasis ajaran Hindu dengan model sadaranikaran memiliki sejumlah
tahapan seperti (1) Sahridaya
(sahridaya) yaitu mereka yang terlibat dalam proses
komunikasi seperti preshaka (sebagai pengirim pesan) dan prapaka (sebagai
penerima pesan); (2) Bhava (eksistensi, emosi, perasaan, sikap); (3) Abhiviyanjana (ekspresi atau encoding);
(4) Sandesha (pesan atau informasi); (5) Sarani (saluran); (6) Rasasvadana
(penerimaan pesan pertama atau decoding dan interpretasi pesan dan
akhirnya penerimaan rasa); (7) Dosha (gangguan); (8) Sandarbha (konteks); dan (9) Pratikriya
(proses umpan balik). Kesembilan tahapan tersebut merupakan elemen-elemen
dasar dalam mendukung proses komunikasi menurut ajaran Agama Hindu.
Jadi berkaitan
dengan komunikasi umum dan komunikasi Hindu diketahui9 bahwa keduanya memiliki
makna yang sama namun dengan istilah yang berbeda. Tetapi komunikasi Hindu
identik pada bhawa atau rasa yang
muncul dari proses komunikasi.
1.3 Perkawinan Selarian
Dalam perkawinan selarian
akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai konsep pengertian perkawinan,
perkawinan menurut Hindu dan perkawinan selarian
di Lombok yaitu sebagai berikut :
1.3.1.
Pengertian
Perkawinan
Undang-Undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1, menyebutkan
perkawinan adalah ikatan lahir bhatin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Dari pengertian di atas ada unsur penting dalam perkawinan
yaitu sebagai berikut:
1. Ikatan
lahir batin: lahir berarti adanya perjanjian yang mengikat bagi keduanya dan
masyarakat serta mempunyai akibat hukum bagi keduanya dan masyarakat. Sedangkan
bhatin berarti penyesuaian dan persamaan kehendak atas kemauan suci untuk
membentuk ikatan dalam bentuk rumah tangga.
2. Antara
seorang pria dan seorang wanita: hal ini menganut asas monogami kecuali ada
hal-hal lain yang ditentukan atau diperkenankan oleh undang-undang dan
agamanya.
3. Sebagai
suami istri membentuk keluarga yang bahagia dan kekal: ini berarti prinsip
kekalnya perkawinan atau berlangsung seumur hidup dengan tujuan kebahagiaan.
4. Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa: ini menunjukan bahwa perkawinan adalah sakral karena
berkaitan dengan agama dan Tuhan.
1.3.2.
Perkawinan
Menurut Hindu
Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa yang tidak dapat diwujudkan
sekaligus tetapi secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan tujuan tersebut
disebut dengan Catur Asrama yang
merupakan empat jenjang tahapan hidup menurut Hindu yaitu Brahmacari, Grahasta, Wanaprastha dan Bhiksuka/Sanyasin. Pada tahap Brahmacari
diproritaskan untuk mendapatkan dharma
sedangkan dalam Grahasta diproritaskan
untuk mewujudkan artha dan
pengendalian kama. Berbeda dengan
jenjang Wanaprastha, Bhiksuka/Sanyasin tujuan hidup yang diproritaskan
adalah untuk mencapai Moksa
Berbicara perkawianan dalam Hindu maka perkawinan termasuk ke
dalam jenjang grahasta. Istilah lain
tentang perkawinan dalam Hindu dikenal dengan sebutan pawiwahana atau wiwiaha.
Dalam kitab Manawadharmasastra yang merupakan kitab hukum
Hindu pada bab III, sloka 27-34 menyebutkan ada delapan jenis perkawinan yaitu
sebagai berikut:
1. Brahma Wiwaha yaitu pemberian seorang gadis
setelah terlebih dahulu dirias dan dihormati kepada seorang yang ahli Weda.
2. Daiwa Wiwaha yaitu pemberian seorang
anak wanita yang setelah dirias terlebih dahulu dengan perhiasan-perhiasan
kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara pada saat upacara itu
berlangsung.
3. Arsa Wiwaha yaitu seorang ayah
mengawinkan anak perempuannya sesuai dengan peraturan setelah menerima seekor
sapi atau bintang yang lainnya dari penganten pria untuk mamatuhi peraturan dharma.
4. Prajapati Wiwaha adalah pemberian
seorang anak perempuan oleh ayahnya setelah berpesan kepada mempelai dengan mantra.
5. Asura Wiwaha yaitu penganten pria
menerima seorang perempuan setelah pria itu memberi mas kawin sesuai menurut
kemampuannya dan didorong oleh keinginanya sendiri kepada mempelai wanita dan
keluarganya.
6. Gandharma Wiwaha yaitu pertemuan suka
sama suka antara seorang perempuan antara kekasihnya yang timbul dari nafsunya
dan malakukan hubungan intim.
7. Raksasa Wiwaha yaitu melarikan seorang
gadis dengan paksa dari rumahnya di mana wanita berteriak-teriak menangis
setelah keluarganya terbunuh atau tersakiti.
8. Pasica Wiawaha yaitu kalau seorang
laki-laki dengan cara mencuri-curi, memperkosa seorang wanita yang sedang
tidur, sedang mabuk atau bingung atau dalam keadaan tidak sadar.
Dari delapan jenis perkawinan yang terdapat dalam kitab
Manawadharmasastra di atas ada enam jenis perkawinan yang boleh dilaksanakan
oleh umat Hindu karena tidak bertentangan dengan ajaran dharma yaitu Brahma Wiwaha,
Daiwa Wiwaha, Prajapati Wiwaha, Arsa
Wiwaha, Gandharwa Wiwaha dan Raksasa
Wiwaha. Sedangkan perkawinan yang melanggar ajaran dharma yaitu Asura dan Paisca Wiwaha.
Hal ini dijelaskan dalam Manawadharmasastra bab III, sloka 25
(Pudja, dkk, 1976/1977: 140) sebagai berikut:
“Pancanam tu trayo
dharma
Dwawadharmamyau
smrtaviha
Paicacaccasuraccaiwa
Na kartawyaukadacana.
Artinya:
Tetapi menurut peraturan perundangan ini tiga dari lima
bagian akhir ini dinyatakan sah sedangkan dua lainnya tidak sah, paisaca dan asura wiwaha tidak boleh dilaksanakan sama sekali.
Bagi masyarakat di Lombok khusunya di kota Mataram sistem
perkawinan yang dapat dilaksananan yaitu ada 4 (empat) dari delapan sistem di
atas walaupun tidak persisi sama sekali yaitu:
1. Sistem
memadik yaitu melamar atau meminang
oleh pihak laki-laki dengan datang ke rumah pihak perempuan untuk meminta
mengadakan perkawinan.
2. Sistem
ngerorod atau selarian yaitu bentuk perkawinan cinta sama cinta yang secara resmi
tidak diketahui oleh keluraga perempuan ini lebih diikenal dengan kawin lari.
3. Sistem
nyentana atau nyeburin yaitu bentuk perkawinan berdasarkan perubahan status
sebagai purusa dari pihak wanita dan pradana dari pihak laki-laki.
4. Sistem
ngunggahin yaitu memberikan seorang
gadis kepada orang suci.
Dari ke empat sistem tersebut sistem selarian atau perkawinan selarianlah
yang sering dilakukan di Lombok. Sistem perkawinan ini dalam Manawadharmasastra
disebut Gandharwa Wiwaha.
1.3.3.
Perkawinan
Selarian di Lombok
Seperti apa yang telah
dijelaskan di atas bahwa perkawinan selarian
merupakan perkawinan yang paling eksis di Lombok yang dikenal dengan istilah Gandharwa Wiwaha. Perkawinan ini terjadi
setelah sepasang kekasih yang ingin melanjutkan hubungannya kejenjang
perkawinan namun menemui jalan buntu yaitu tidak disetujui oleh pihak perempuan
atau lain sebagainya.
Perkawinan ini bagi
masyarakat Lombok salam kehidupannya mengenal apa yang dinamakan lokacara (kebiasaan-kebiasaan setempat)
baik tentang tata cara proses penyelesaian perkawinan. Inti pengertian pokoknya
adalah suatu perkawinan yang saling mencintai dan si gadis dilarikan oleh pria
untuk dijadikan istri dan harus memnuhi syarat umum perkawinan yaitu cukup
usia, tidak dalam ikatan perkawinan, tidak berhubungan keluarga yang dilarang
untuk kawin.
Proses penyelesaian perkawinan
selarian salah satunya adalah dengan
cara mengambil seorang wanita yang tidak langsung dibawa ke rumah seorang
laki-laki melainkan disembunyiakan di rumah keluarga atau kerabat dekat
laki-laki yang lebih dikenal dengan istilah mengkeb.
Hal tersebut memiliki maksud:
1.
Agar pihak keluarga si wanita tidak mengetahui
keberadaan anak gadisnya.
2.
Ada kekawatiran dari pihak laki-laki bahwa calon
istrinya akan diambil oleh keluraganya.
Setelah
berada dipengkeban kemudian
dilanjutkan dengan pembicaraan-pembicaraan yang dilaksanakan sampai dengan
prosesi mesayut gede, tahapan
pembicaraan ini diantaranya:
1.
Meselabar
yaitu pihak mempelai laki-laki mengutus dua orang pejati yang datang ke rumah
orang tua wanita untuk mempermaklumkan kepada orang tuanya bahwa anaknya
dilarikan untuk kawin atas dasar saling suka sama suka dan mencintai.
2.
Ngendek
yaitu menyampaiakan pesan kepada pihak mempelai wanita pada hari selanjutnya
aka nada utusan dari pihak laki-laki untuk mepradag/
pemelepeh sehingga pihak perempuan
dimohon untuk menunggu di rumah pada hari dan jam yang sudah ditentukan.
3.
Pemelepeh/Pradag
yaitu penyampaian permohonan maaf atas prilaku putrinya yang telah berani
menentukan jodohnya yang tidak bisa menunggu lama perkataan orang tuanya
disuruh kawin serta permohonan maaf laki-laki yang tidak berani berkata terus
terang kepada orang tua perempuan bahwa ia benar-benar mencintai putrinya
karena ketidak beranian itulah kemudian dicuri.
4.
Nunus
Ledang yaitu penyampaian permohonan dari pihak laki-laki kepada perempuan
untuk memulangkan pengenten dari persembunyian ke rumah laki-laki.
5.
Ngaturang
Pedewasaan yaitu pihak laki-laki menyampaikan kepada pihak perempuan bahwa
upacara widhi-widhana atau sayut gede akan dilaksanakan pada hari
baik yang sudah ditentukan oleh orang suci.
6.
Nyongkol
yaitu kegiatan yang dilaksanakan setelah proses pembicaraan penyelesaian tidak
lagi ada ketersinggungan antara keluarga wanita sehingga anak perempuannya
diperbolehkan pulang untuk mepamit di
sanggahnya. Hal ini tidak terjadi
jika pihak keluarga perempuan tidak mengijinkan anaknya untuk pulang atau
anaknya dibuang.
7.
Mejangok
yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengakrabkan hubungan keluarga dekat
laki-laki dengan keluarga dekat perempuan yang biasanya dilakukan 3 hari
setelah nyongkol.
1.4 Komunikasi
Hindu pada Upacara Perkawinan Selarian di
Lombok
1.4.1 Bentuk
Komunikasi dalam Perkawinan Selarian
di Lombok
Berkenaan dengan upaya untuk mengkaji bentuk komunikasi
dalam perkawinan selarian di Lombok
ada beberapa bentuk komuniksi yang terjadi yaitu sebagai berikut:
a)
Komunikasi Antarpribadi
Dalam
proses perkawinan selarian melibatkan
komunikasi antar pribadi yakni antar orang dalam upaya untuk mencapai titik
temu atau kesepakatan. Kesepakatan tersebut untuk mengkomunikasikan
gagasan-gagasan dalam proses perkawinan yang berupaya untuk mencapai titik temu
sehingga kesenjangan komunikasi yang terjadi antara pihak laki-laki dan
perempuan dapat diatasi dengan negosiasi.
Komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh keputusan keluarga laki-laki merupakan bentuk
komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol untuk mencapai kesepakatan antara
dua keluarga, penggunaan simbol dikaitkan dengan teori intraksionalisme
simbolik yaitu sebagai upaya untuk melakukan komunikasi dalam mencapai
kesepakatan dalam proses negosiasi, simbol-simbol tersebut diantaranya terjadi
pada proses selabar yang pada intinya untuk membangun komunikasi antara pihak
keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Simbol yang digunakan berupa bobok dari daun kelapa kering dan
pakaian adat yang dibawa oleh putusan laki-laki tiada lain bertujuan untuk
menggerakan respon sehingga tujuan komunikasi yang diharapkan dapat tercapai.
Komunikasi
antarpribadi dapat terjadi dengan satu komunikator (pemayun laki-laki) dengan satu komunikan (pemayun perempuan) yang berlangsung secara tatap muka yang dalam
hal ini kedua pihak dapat bergantian menjadi komunikator maupun komunikan.
b) Komunikasi
Kelompok
Komunikasi
kelompok dalam perkawinan selarian adalah proses penyampaian pesan yang
melibatkan pihak-pihak keluarga baik laki-laki maupun perempuan secara
kolektif. Dalam hal ini komunikasi kelompok yang terjadi adalah komunikasi
anatar keluarga yang terdiri dari sejumlah anggota keluarga untuk menemukan
kesepakatan dalam perkawinan selarian. Hal ini terjadi disaat menentukan dewasa atau hari baik untuk melaksanakan
upacara pawiwahan serta menentukan
siapa yang menjadi pemimpin atau pemuput
dalam proses upacara perkawinan nantinya.
c)
Komunikasi Publik
Komunikasi
publik dalam proses perkawinan selarian
dilakukan untuk mencapai tujuan bersama dengan melibatkan peran serta khalayak
umum. Dalam kaitan ini, pihak keluarga melakukan komuniksi dengan tujuan supaya
proses perkawinan tersebut dapat diketahui oleh masyarat banyak. Komuniksi ini
juga dilakukan dengan memberikan undangan kepada publik sebagai wahana untuk
menyampaikan komunikasi tentang pelaksanaan perkawinan tersebut. Komunikasi
publik di sini biasanya dilakukan oleh penyobyah
atau pembawa acara dalam perkawinan.
d) Komuniksi
Ritual
Perkawinan
dianggap sah dalam Hindu apabila disaksikan dengan Tri Upasaksi yaitu Dewa Saksi
dengan memohon anugrah kepada para Dewa dan Manusa
Saksi yaitu disaksikan oleh masyarakat banyak, serta Bhuta Saksi yaitu memohon ijin kepada para Bhuta Bhucari dengan ritual mabyakaon.
Komunikasi
ritual dalam perkawinan selarian di
Lombok dapat ditemukan atau terjadi melalui simbol yang digunakan oleh kedua
mempelai dalam upacara perkawinan tersebut.
1.4.2 Proses
Komunikasi dalam Perkawinan Selarian
di Lombok
Proses komunikasi pada perkawinan selarian terjadi dalam bebrapa
persfektif yaitu sebagai berikut:
a)
Persfektif Psikologis
Proses
komunikasi dalam persfektif ini terjadi pada diri komunikator dan komunikan,
berdasarkan tesis Adnyani (2015:73), ketika seorang komunikator akan
menyampaikan pesan kepada komunikan maka dalam dirinya terjadi suatu proses
komunikasi yang mana isi pesan umumnya adalah pikiran, sedangkan lambang
umumnya adalah bahasa, yang dalam hal ini terjadi proses encoding, sedangkan dalam diri komunikan terjadi proses decoding yang seolah-olah mengartikan
pesan yang ia terima dari komunikator.
Dalam
upacara perkawinan selarian
komunikasi ini terjadi ketika selabar
berniat menyampaikan pesan tentang perkawinan kepada orang tua mempelai wanita.
Proses komunikasi psikologis yang terjadi dapat terlihat ketika terjadinya saat
terjadinya kegugupan dari pemayun dan
atau penyelabar (yang belum pengalama
dalam berbicara di depan umum). Lain halnya secara psikologis dengan pemayun yang berpengalaman.
b) Persfektif
Mekanistis
Proses
ini berlangsung ketika komunikator (pemayun)
secara lisan kepada keluarga wanita dengan melalui bebrapa tahapan berikut:
1. Pejati/
Selabar adalah
menyampaiakan kebenaran bahwa seorang anak perempuan telah diambil atau
dinikahi oleh seorang laki-laki sehingga keluarga tidak bingung untuk
mencarinya ke mana-mana, yanga melakukan pejati
biasa dua orang laki-laki yang disebut pelaku.
Pelaku pertama menyampaiakan utusan
dan yang kedua sebagai saksi atas pembericaraan saat pertemuan berlangsung.
2. Ngendek adalah proses komunikasi yang
dilakukan oleh perwakilan pihak laki-laki yang biasanya dilakukan sehari sebelum
kedatangan pembicara untuk menyampaikan waktu kehadiran berikutnya.
3. Pradag
adalah suatu
tahapan penyamp permohonan maaf atas kekurangan atau kesalahan yang telah
dilakukan oleh calon mempelai laki-lakiatau putrinya yang telah meninggalkan
keluarga tanpa pemberitahuan sebelumnya dengan maksud ingin melaksanakan
kewajiban agama dan negara sebagai manusia untuk melaksanakan masa
berumahtangga.
4. Pelepeh
adalah proses
komunikasi pihak laki-laki agar dapat diizinkan pulang dari persembunyian (peengkeban) dan memohon untuk diizinkan
bekerja.
5. Pekenak
adalah proses
komunikasi yang mengizinkan pihak penganten laki-laki untuk pulang dari
persembunyian dan bekerja.
6. Ledang
adalah proses
komunikasi yang memberikan restu kepada pengantin untuk melaksanakan upacara
perkawinan sehingga kedua pihak keluarga sepakat untuk mempersiapkan upacara
yang dilakukan.
7. Nyongkolan
adalah upacara
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak dan pada
umumnya disahkan oleh pendeta atau pemangku
yang dianggap mampu untuk menyelesaikan upacara perkawinan.
1.4.3
Makna
Komunikasi dalam Perkawinan Selarian
di Lombok
Makna komunikasi dalam
upacara perkawinan selarian yang
terjadi di Lombok adalah :
a)
Makna
religius
Perkawinan selarian dikatakan bermakna religius
dapat dilihat pada upacara yang dilakukan berdasarkan hindu yang disaksikan
oleh tru upasaksi yang salh-satunya
adalah para dewa. Selain itu juga terlihat pada proses mekunyit keladi yang dilakukan di sanggah yang notabene merupakan tempat suci.
b)
Makna
sosial kemasyarakatan
Makna ini dapat ditemui
pada upacara perkawinan selarian ketika
nyongkolan terjadi komunikasi antar
lapisan masyarakat yang bukan hanya pihak keluarga dekat tetapi juga masyarakat
luar.
c)
Makna
susila etika
Dalam perkawinan selarian selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur mereka yang dapat kita
temui pada proses sebelum nyongkolan
itu terjadi.
d)
Makna
persatuan
Perkawinan merupakan
pengintegrasian kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya. Pada kejadian
inilah terjadi penyatuan dua pihak keluarga yaitu keluarga laki-laki dengan
perempuan.
1.4.4 Komunikasi
Hindu dalam Perkawinan Selarian di
Lombok
Komunikasi adalah proses
atau tindakan untuk mengalihkan pesan dari suatu sumber kepada penerima melalui
saluran dalam situasi adanya gangguan dan interfrensi. Komunikasi dalam Hindu
adalah pengalihan pesan keagamaan Hindu oleh komunikator kepada komunikan.
Sebagai salah satu model komunikasi Hindu, model komunikasi sadharananikarana adalah salah satu yang dapat
dijadikan acuan untuk memahami komunikasi Hindu. Model komunikasi
ini dalam perspektif modern dikembangkan
oleh Nirmala Mani Adhikary dari Nepal. Model komunikasi Hindu Sadananikaran memiliki karakteristik
yang spesifik, karena selain sifatnya dapat melakukan penyampaian pesan secara
horizontal dengan sesama manusia juga bersifat vertikal yang berkaitan dengan
komunikasi dengan kekuatan supranatural.
Komunikasi model Barat yang banyak mempengaruhi pola
komunikasi di nusantara selama ini sifatnya linier, sedangkan komunikasi model sadananikaran
tidak mengindikasikan adanya linieritas. Komunikasi yang dibangun oleh
model sadananikaran berupaya membangun oneness, yakni penyatuan
dari mereka yang melakukan komunikasi.
Komunikasi model sadananikaran
cenderung memposisikan aspek rasa dalam proses penyampaian pesan.
Komunikasi yang berhasil dalam model sadananikaran ketika komunikator
dan komunikan memiliki kesamaan rasa dalam proses komunikasi. Aspek rasa
memiliki peran yang sangat penting dalam membangun keberhasilan komunikasi.
Seperti penjelasan dalam model komunikasi sadaranikaran di atas,
dapat kita ketahui bahwa ada beberapa tahapan jika kita kaitkan dengan
perkawinan selarian di Lombok yaitu :
1.
Sahridaya (sahridaya)
yaitu mereka yang terlibat dalam proses komunikasi seperti preshaka (sebagai
pengirim pesan) dan prapaka (sebagai penerima pesan). Dalam perkawinan
selarian yang merupakan sahridaya adalah
kedua belah pihak keluarga yang melakukan perkawinan maupun pemayun kedua mempelai.
2.
Bhava (eksistensi,
emosi, perasaan, sikap) yaitu perasaan yang terjadi saat belangsungnya
perkawinan, hal ini sangat berkaitan dengan psikologis kedua pemayun.
3.
Abhiviyanjana
yaitu ekspresi atau encoding dari pemayun
selaku komunikator dalam perkawinan selarian
4.
Sandesha adalah pesan atau informasi yang disampaikan
oleh pihak keluarga atau pemayun
kepada para masyarakat yang menyaksikan maupun kepada tri upasaksi.
5.
Sarani yaitu
media berupa pengeras suara maupun simbol simbol yang dijadikan saluran
komunikasi.
6.
Rasasvadana yaitu
penerimaan pesan pertama atau decoding dan interpretasi pesan dan
akhirnya penerimaan rasa.
7.
Dosha yaitu
gangguan berupa salah interpretasi oleh pemayun yang bertindak sebagai
komunikan.
8.
Sandarbha
yaitu konteks perkawinan selarian.
9.
Pratikriya yaitu
proses umpan balik pembicaraan oleh kedua belah pihak keluarga pengantin.
1.5 Simpulan
Komunikasi adalah proses
atau tindakan untuk mengalihkan pesan dari suatu sumber kepada penerima melalui
saluran dalam situasi adanya gangguan dan interfrensi. Berkaitan dengan Hindu
maka komunikasi dalam Hindu adalah pengalihan pesan keagamaan Hindu oleh
komunikator kepada komunikan.
Sedangkan perkawinan
adalah ikatan lahir bhatin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan selarian merupakan perkawinan yang
paling eksis di Lombok yang dikenal dengan istilah Gandharwa Wiwaha. Perkawinan ini terjadi setelah sepasang kekasih
yang ingin melanjutkan hubungannya kejenjang perkawinan namun menemui jalan
buntu yaitu tidak disetujui oleh pihak perempuan atau lain sebagainya.
Bentuk komunikasi yang
dapat terjadi dalam perkawinan selarian
yaitu komunikasi antar pribadi, kelompok, publik dan komunikasi ritual.
Komunikasi itu tertjadi melalui proses komunikasi dalam perspektif psikologis
dan perspektif mekanistis. Komunikasi yang terjadi memiliki makna religius,
social kemasyarakatan, etika susila serta makna persatuan.
Dalm hindu komunikasi
dalam perkawinan selarian dapat
dikaji melalui model komunikasi sadanikaran.
1.5 Saran
Lestarikanlah budaya perkawinan yang bagi masyarakat
Lombok dinamakan lokacara
(kebiasaan-kebiasaan setempat) baik tentang tata cara proses penyelesaian
perkawinan ini. Inti pokoknya adalah dalam perkawinan ini terdapat nilai-nilai
yang dapat dikaji dalam perspektif komunikasi Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar.
2013. Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Bungin, Burhan.
2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta :
Kencana.
Cangara, Hafied.
2012. Pengantar ilmu Komunikasi.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Juniawan, Ida
Bagus Heri. 2015. Artikel (Komunikasi
dalam Kawin Lari). Mataram : STAHN Gde Pudja Mataram.
Liliweri, Alo.
2011. Komunikasi Serba Ada Serba Makna.
Jakarta : Kencana.
Marhyanto,
Bambang. . Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Victory.
Rahmat,
Jalaludin. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung
: Remaja Rosdakarya.
Santoso, Edi dan Setiansah,
Mite. 2012. Teori Komunikasi.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Swandesi, Ida
Ayu. 2015.Tesis ( Komunikasi dalam Sistem Perkawinan Selarian
pada Masyarakat Hindu di Kota Mataram). Mataram : STAHN Gde Pudja Mataram
Widjaja. 2002. Komunikasi.
Jakarta : Bumi Aksara.